Dua Negara Palestina dan Israel: Solusi atau Sekadar Jebakan Politik?

Kategori: International | Oleh admin | 26 Sep 2025 07:05 | 👁️ 23 kali dibaca
Bagikan: WhatsApp Facebook
Dua Negara Palestina dan Israel: Solusi atau Sekadar Jebakan Politik?

Pengungsi Palestina meninggalkan Jalur Gaza Utara

Dukungan sejumlah negara Barat terhadap berdirinya negara Palestina, yang muncul menjelang Konferensi Internasional Penyelesaian Palestina dan Solusi Dua Negara serta Sidang Umum PBB ke-80 di New York pada 22–23 September 2025, kembali membuka perdebatan klasik mengenai konsep dua negara.

Inggris, Prancis, Portugal, Australia, hingga Kanada menyuarakan dukungan mereka, sejalan dengan pidato Presiden Prabowo Subianto pada forum tersebut. Namun, di balik euforia ini, muncul pertanyaan mendasar: seperti apa bentuk negara Palestina yang dimaksud? Apakah betul sebuah negara berdaulat penuh dengan kendali atas tanah, udara, laut, dan kebijakan politiknya, atau hanya entitas administratif dengan otoritas terbatas di bawah bayang-bayang Israel?

Kedaulatan yang Dipertanyakan

Dalam berbagai rancangan, Palestina digambarkan sebagai negara dengan kedaulatan terbatas. Israel tetap memegang kendali perbatasan, ruang udara, hingga akses laut. Kondisi ini tidak berbeda jauh dari situasi di Tepi Barat dan Gaza saat ini, di mana setiap aktivitas keluar-masuk barang maupun manusia selalu tunduk pada otoritas Tel Aviv.

Kedaulatan sejati tidak hanya sebatas pengakuan formal, melainkan kemampuan penuh suatu bangsa mengatur dirinya tanpa intervensi eksternal. Tanpa itu, negara Palestina hanya akan menjadi simbol belaka.

Negara Tanpa Pertahanan

Sebagian besar konsep dua negara yang ditawarkan Barat menekankan demiliterisasi Palestina. Artinya, Palestina diminta berdiri tanpa angkatan bersenjata dan tanpa hak membela diri. Padahal, hak mempertahankan diri merupakan prinsip dasar sebuah negara berdaulat. Bagi rakyat Palestina yang terus menghadapi penjajahan dan serangan militer, meniadakan pertahanan justru mengancam keberlangsungan eksistensi mereka.

Persoalan Wilayah dan Yerusalem

Isu batas wilayah menjadi persoalan krusial. Perluasan permukiman Israel di Tepi Barat membuat peta wilayah Palestina semakin terfragmentasi. Jika masalah ini tidak ditegaskan, maka yang lahir hanyalah negara tambal sulam, rapuh sejak awal.

Bagi rakyat Palestina, wilayah sah negara mereka mencakup Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota. Tanpa Yerusalem (Al-Quds), legitimasi negara Palestina akan dipertanyakan oleh rakyatnya sendiri.

Selain itu, hak kembali (right of return) jutaan pengungsi Palestina yang dijamin hukum internasional kerap dihapus dari peta jalan solusi dua negara. Jika hak ini diabaikan, maka solusi tersebut tidak menyentuh akar persoalan.

Pemerintahan yang Tergantung

Banyak pihak menilai entitas Palestina dalam kerangka dua negara tidak jauh berbeda dari Otoritas Palestina (PA) yang ada saat ini: terbatas kewenangannya, bergantung pada bantuan asing, dan sering berfungsi sebagai mitra koordinasi keamanan bagi Israel. Hal ini membuat Palestina sulit berfungsi sebagai negara merdeka, melainkan sekadar instrumen stabilitas politik Israel.

Normalisasi Terselubung

Esensi dari solusi dua negara versi Barat seringkali dipandang bukan demi keadilan bagi Palestina, melainkan untuk membuka jalan normalisasi Israel dengan dunia Arab dan Islam. Dengan pengakuan formal atas Palestina, Israel memperoleh legitimasi lebih luas tanpa menghentikan pendudukan maupun blokade.

Perdana Menteri Inggris Keir Starmer bahkan menyebut pengakuan negara Palestina justru menguntungkan Israel karena akan mendorong normalisasi dengan negara-negara Arab. Dengan kata lain, negara Palestina yang dimaksud lebih mirip proyek kosmetik diplomatik ketimbang solusi sejati.

Jalan Menuju Keadilan

Jika Palestina yang ditawarkan hanyalah negara dengan kedaulatan semu—tanpa pertahanan, tanpa kepastian wilayah, tanpa hak pengungsi, dan tanpa Yerusalem sebagai ibu kota—maka sulit menyebutnya sebagai solusi adil dan berkelanjutan.

Aspirasi rakyat Palestina jelas: mereka menginginkan negara merdeka dengan kedaulatan penuh, hak membentuk pertahanan, wilayah yang utuh (Tepi Barat, Gaza, Yerusalem Timur), serta jaminan pemulangan pengungsi.

Menolak Solusi Semu

Pengalaman sejarah, seperti kegagalan perjanjian Oslo, membuktikan perdamaian tanpa keadilan hanya berakhir dengan kekecewaan. Karena itu, pengakuan formal semata tidak cukup. Dibutuhkan langkah nyata: penghentian pendudukan, pencabutan blokade, pemulihan hak pengungsi, dan tegaknya kedaulatan penuh Palestina.

Harga yang Dibayar Rakyat Palestina

Rakyat Palestina telah menanggung harga yang amat mahal: pengungsian, penindasan, hingga genosida yang berlangsung hingga kini. Mereka menuntut kemerdekaan sejati, bukan negara simbolik tanpa makna.

Tanggung jawab dunia internasional, terutama dunia Islam, adalah memastikan dukungan terhadap Palestina tidak berhenti pada simbol politik, tetapi benar-benar mewujudkan keadilan. Sebab hanya dengan keadilan, perdamaian yang abadi dapat tercapai.

Bagikan: WhatsApp Facebook

Galeri Terkait

Komentar

Login untuk menulis komentar Daftar

Belum ada komentar.